Aku berpacu dalam langkah yang semakin memburu.
Sementara malam mengungkung menyesaki rongga mata.
Dalam keremangan dan ketakutan yang menyiksa,aku
terjerambab. Langkahku dihentikan segunduk tanah bekas galian. Darah mengucur
dari lubang hidung, menguarkan bau amis yang bercampur lumpur dan kotoran
anjing. Ku coba bertumpu pada dua kaki yang sudah lelah. Tapi gagal, aku
tersungkur lagi. Saat itulah mataku menangkap lukisan langit hitam kelam
seperti kopi pahit kesukaan ayah. Terpatri diatasnya, seonggok bulan merah
darah yang menyusupkan rasa ngeri di ubun-ubun otakku.
Tersentak dari lamunan, ekor mata menangkap sesosok
bayangan hitam mendekat. Tiap detik semakin rapat, detak jantung kian cepat.
Tak kan ku berikan nyawa ini untuk psikopat gila sepertinya, aku membatin.
Karnanya, tungkai kaki ini ku paksa menegak, meski sakitnya menikam ulu hati.
Terseret-seret langkahku, dengan darah yang masih mengucur perlahan lewat
lubang hidung.
Langkah-langkah itu masih memburu, padahal nafasku
tinggal satu-satu. Percuma jika aku terus berlari, langkah-langkah itu pasti
mampu menyusulku. Saat ini, yang ku bisa hanya berjudi dengan nasib. Ku
picingkan mata, mencoba mencari celah untuk meloloskan diri. Tidak ada apapun
yang bisa ku jadikan tempat sembunyi kecuali parit di salah satu sisi trotoar.
Tapi parit itu berair dan penuh kotoran, aku takkan sanggup bertahan meski
hanya seperempat jam. Aku menggeleng perlahan, jika memang harus begini, jika
memang harus berakhir di sini, ku pejamkan kedua mata, lalu dengan satu
hentakan tiba-tiba, ku bawa tubuh kecil ini menyusup dalam parit busuk yang
dipenuhi sampah busuk dan cairan kental mirip kotoran itu. Seketika tubuhku
meremang, dingin merasuk hingga rongga tulang. Kubenamkan tubuhku perlahan
hingga sebatas leher. Aroma busuk menyeruak masuk dan langsung menyerang
kepingan-kepingan inti otak.
Lalu membisu, membeku, terus bisu di susul beku.
Perlahan langkah-langkah itu menjauh, seiring dengan
kesadaranku yang hilang satu-satu.
*****
Setelah dua minggu
Ibu menatapku dengan mata kuyunya yang lelah. Wanita
berwajah coklat gelap itu sudah pasrah, melihat ku yang kian hari bertambah
parah. Tak mau makan dan mengurung diri di kamar.
Kadang aku tercenung seperti orang tanpa ingatan, atau
malah berteriak-teriak mirip orang kesurupan, tak jarang disusul tangis
sesenggukan. Apalagi saat malam melingkupkan jubah pekatnya. Kegilaanku akan
semakin parah saja. Ingatan akan dua minggu lalu seolah kembali terproyeksi di
rongga mata. Saat tiba-tiba bayangan hitam itu menghadang langkahku dan ragil
di trotoar kota.
Aku masih ingat bagaimana dia menerjang ragil dan
melarikannya. Ketakutan menelanku saat itu, hingga akhirnya kutinggalkan saja
jeritan ragil yang mengoyak malam. Masih teringat jelas di benak ku, jubah
hitamnya yang sewarna langit malam itu, dan sorot mata merahnya yang persis
sama seperti bulan merah darah.
Belaian jemari ibu membangunkanku dari ingatan malam
itu. Tapi siluet wajah di bingkai ungu, tepat di samping tempat tidur membuatku
ingat ragil. Terngiang di gendang telinga teriakannya malam itu, seolah
membelah malam dengan belati keputusasaan. Tapi aku, sahabatnya. Malah berlari
karna takut tertangkap oleh sepasang bola mata sewarna bulan merah darah. Aku
berlari membawa segenggam kepengecutan dan membiarkan bola mata itu menggagahi
tubuhnya yang renta.
Selusur air mata menjembatani kedua belah pipi ku. Ibu
sudah berlalu. Tinggal aku yang meringkuk di balik selimut beku, memandang
lukisan wajah ragil yang membayang di tirai hujan.
“ Bulan depan aku tunangan, Ning. Kamu datang, ya!”
ucapan ragil sebulan lalu menggema di telingaku. Andai tragedi itu tidak
menimpanya. Jika saja psikopat bermata setan itu tidak melayangkan nyawanya,
hari ini ragil pasti menjadi gadis paling bahagia di dunia.
Pintu kamarku terbuka sedikit, sesosok tubuh berkemeja
kelabu menyeruak masuk. Langsung saja dia jatuhkan tubuhnya di kasur, lalu
sigap punggung tanganya menghapus jejak-jejak tangis ku. “Sudahlah, Ning.
Jangan nangis terus, kamu nggak salah. Jangan terus nyalahin diri hanya karna kamu
nggak mati malam itu.” Jemari abangku menyelusup membelai puncak kepala.
Bukannya tenang, tangis ku malah semakin brutal, mencoba kalahkan guntur yang
baru saja menggelegar.
“ Mungkin itu karma, Ning. Karna Ragil merebut Dimas
darimu.” Abangku sat-satunya itu melanjutkan ucapannya. Sontak ku tatap
matanya, lalu ku tepis jemarinya yang masih bermain di rambutku. Aku jijik
mendengar ucapannya. Ragil, sahabatku. Tak mungkin aku brfikir sepicik itu.
Toh, ragil memilih dimas pun atas rekomendasi dari ku.
Aku ngeloyor ke kamar mandi meninggalkan abangku yang
terdiam. Lalu kubenamkan badan dalam bak penampungan, berharap penyesalan mampu
mencair bersama air.
*****
Malam, setelah satu bulan
Aku meringkuk dalam dekapan hangat Ndaru, abangku.
Menyelusup dibalik jaket hitamnya, mencoba membentengi diri lewat rengkuhannya.
Penglihatanku mengabur, disusul perih karna kabut putih yang berasal dari rokok
yang menyala sejak sejam yang lalu. Di depanku, sebuah meja bertengger kaku,
dibelakangnya seorang pria berseragam sekitar empat puluh tahunan tengah
menatapku tajam. Tatapannya seolah menelanjangiku yang telah benar-benar
memeluk pinggang abang. Di sekelilingnya, tiga leleki lain juga menatapku tak
kalah seram.
Mereka semua mungkin marah, karna setiap pertanyaan
mereka hanya ku jawab dengan tangis. Bagaimana mungkin aku bisa memaparkan
kejadian tragis yang selama ini menghantui tidurku. Tak kan mungkin aku bisa
melukiskan wajah setan yang telah merebut satu-satunya sahabat yang mampu ku
percaya. Terlebih diharuskan menjelaskan caraku keluar dari cengkraman si mata
merah darah, karna sesungguhnya itu penyesalan terbesar yang pernah ku lakukan.
Jadi tak salah bila aku hanya bisa menangis dan
terpuruk di belakang abang, satu-satunya orang yang saat ini bisa ku andalkan.
Aku juga takkan heran jika sebulan lagi orang-orang menjebluskanku ke rumah
sakit jiwa. Karna saat ini, tak lagi mampu ku bedakan benar dan salah. Yang ku
tahu, Ragil diperkosa dan dianiaya pria berjubah hitam dengan mata menyerupai
bulan yang memancarkan sinar berwarna semerah darah. Lalu Dimas tunangannya
dijadikan tersangka karna jubah hitam si mata setan ditemukan mendekam dalam
tong sampah tepat di depan rumah kontrakanya. Kembali air mata menderai,
sementara bang Ndaru masih setia membelai puncak kepalaku, berusaha menahan
tangis yang tak henti mengucur.
Setelah lima jam dan aku tetap bungkam.
Petugas-petugas berwajah sangar itu melepasku pergi. Diiringi tatapan sebal,
aku meninggalkan ruangan pengap penuh asap rokok itu. Saat pintu terbuka, mata
sembabku menangkap cahaya temaram yang berpendar dibalik jendela. Langit di
atas sana hitam pekat, persis malam keparat itu. Terlukis di atasnya bulan
sewarna darah yang juga persis malam itu. Tungkai kakiku melemas, aku terjatuh
dalam pelukan bang Ndaru.
Tapi saat ku tengadah, jantungku berpacu kian cepat.
Mata abangku berubah semerah darah. Terburu-buru aku mundur, hingga akhirnya
menyenggol keranjang sampah dan terjatuh ke sisi pintu. Daun pintu berdecit tak
mampu menahan berat tubuhku, namun saat ku berusaha bangkit, terlihat jelas.
Semua mata yang ada diruangan itu, ruangan tempat ku habiskan lima jam dalam
ketakutan, semua mata mereka berwarna semerah darah. Aku memekik perlahan. Bang
ndaru mencoba membantuku berdiri, tapi dengan sepasang mata pembunuh yang terlukis
di wajah cemas, membuatnya sempurna mengerikan. Ku tarik tubuhku mundur, tapi
pemandangan selanjutnya membuatku tak lagi mampu bersuara. Semua lelaki di
tempat itu, baik berseragam maupun tidak memandangku lewat mata semerah darah.
Kecuali satu, yang meringkuk dalam gelap dibalik terali sementara yang terletak
dipojok ruangan, pria itu menatapku lewat senyum, Dimas.
oooiii anak
ReplyDelete