Pagi yang
sangat biasa, diawali hunusan matahari yang menebas belantara kabut sisa
semalam. Seorang tua telah terjaga cukup lama dari tidurnya, membereskan kasur
yang isinya bukan kapuk melainkan perca-perca goni yang dipungutinya dari tempat
pembuangan pabrik tepung, tiga kilometer dari rumahnya.
Dengan
tangan yang gemetar, pria kurus kerempeng itu menyiapkan sarapan istimewanya,
segelas teh hangat tanpa gula dan kue rasidah yang juga tanpa gula. Dia bukan
takut diabetesnya kumat atau kadar kolesterolnya meningkat, toh dia tak pernah
ke rumah sakit meski paru-parunya tak lagi sehat. Dia hanya tak punya uang
untuk segenggam gula. Upah membajak sawah semalam hanya cukup ditukarkan tepung
roti dan segenggam bawang merah.
Apalagi hari
ini dia harus absen mencumbui padi-padi milik juragan haji. Meski dia sudah
bersikeras, toh juragan tetap maghfum dengan maklumat kepala desa yang
mengharuskan seluruh kegiatan kampung di nonaktifkan selama sehari penuh untuk
keperluan pencoblosan di tempat-tempat yang sudah ditentukan.
Pria tua
dengan baju bertambal-tambal perca dan satu sobekan dibawah ketiak, menyesap
sisa teh yang tertinggal di cangkir porselennya. Cangkir porselen itu hitam
warnanya, dengan sumbing disekeliling bibir dan tangkai yang retak saat pertama
kali istrinya meuangkan air panas ke cawannya. Benda itu satu-satunya keindahan
yang tertinggal di rumah berdinding kayu lapuk itu. Setelah anaknya meninggal
satu demi satu karna tak mampu menahan terjangan diare. Disusul istriny yang
penyabar, namun hengkang karna tak sanggup dijejali rasidah tanpa gula dan ubi
rebus setiap hari.
Lelah
tergambar diwajah tuanya. Dibasuhnya cangkir porselen dan piring kaleng bekas
makan sebelum pergi ke tempat pemungutan suara, seperti yang telah
berulang-ulang di teriakkan lewat toa di kantor kepala desa.
Jalan-jalan
sudah ramai, masyarakat berduyun-duyun membopong anak dan keluarga menuju
lapangan sepak bola, tempat dimana bilik-bilik persegi empat berdiri lantang
menentang hamparan langit terbuka. Memang sudah menjadi tradisi kampong untuk
berbonding-bondong mengangkuti keluarganya dari rumah jika ada perhelatan di
lapangan sepak bola. Mau itu layar tancap, jaran kepang, kenduri anak tertua
kepala desa, imunisasi, penyuluhan atau sekedar pemungutan suara seperti hari
ini. Tak ada warga desa yang rela melewatkan kegiatan-kegiatan yang berlangsung
dilapanga terbuka itu karna jarang-jarang keluarga mereka mendapat tontonan
gratis.
Si bapak tua
berjalan ke arah meja panjang, tempat kertas-kertas berisi deretan wajah
manusia dibagikan. Diambilnya selembar kertas dari seorang wanita cantik dengan
kemeja hitam yang dua kancing teratasnya lupa dikaitkan. Senyum wanita itu
mengingatkannya pada istri yang tak sanggup dicekoki ubi rebus setiap hari.
Seorang
pemuda bertampang brengsek mendesaknya untuk segera meninggalkan antrean.
Terpaksalah dileburnya dulu ingatan tentang senyum istri yang sangat mirip
dengan wanita pelupa yang teledor mengaitkan kancing kemejanya itu.
Didalam
bilik suara, pak tua nanar memandang sederet wajah manusia yang tidak dia
kenal. Di rumahnya tidak ada televisi dan sehari harinya hanya dihabiskan
disawah. Sedang wajah-wajah di kertas itu sama sekali tidak mirip tetangganya
udin yang beranak empat, ataupun aminah yang jualan kopi di belakang rumah. Wajah-wajah
itu tampak bugar dengan senyum melengkung lebar. Rambut mereka klimis, pasti
sudah di kasi tanco sebelum berfoto.
Sebenarnya
otak tuanya sedang bingung memilih, karna diantara berpuluh foto itu tidak ada
yang terlihat dapat dipercaya. Dia seorang petani penggarap sawah orang yang
sudah uzur, tidak bersanak keluarga dan tinggal menunggu mati. Tak jadi soal
siapa yang akhirnya terpilih jadi pemimpin. Tapi dia peduli dengan nasib Suryo,
Sulaiman, Alit, Banjar dan pemuda kampong lainnya yang sudah berikhtiar
meneruskan jejak-jejak bapak mereka sebagai penggarap sawah. Setidaknya pemimpin
terpilih kelak harus layak membimbing pemuda-pemuda yang sudah punya itikad
baik itu.
Tapi
masalahnya, tak satu pun wajah dalam foto yang ada di tangannya layak jadi
pemimpin. Bayangkan, mana mungkin wajah-wajah cakap itu mampu membajak sawah,
mengawon kambing, membangun tanggul pengairan atau sekedar berpanas-panas
menjaga padi yang hampir masak agar tidak jadi kudapan gagak. Bapak tua itu
mendengus, pemuda di desanya tidak butuh
pemimpin yang Cuma bisa bicara, mereka butuh pemimpin yang bisa
mengajari caranya membajak sawah. Supaya panen mereka bisa lebih bagus tahun
depan.
Pak tua itu
mendengus, kesal karna masih belum bisa menentukan pilihan. Tiba-tiba dia tersadar,
sebelum meningglkan rumah, dia lupa memberi tiga ekor ayamnya makan.
Ditinggalkannya saja kertas suara dalam keadaan terbuka. Lalu buru-buru pulang,
takut ayam-ayamnya lupa bertelur karna kelaparan.(***)
0 comments:
Post a comment