Aku melihatnya. Lelaki yang kerap kutunggu datang dan perginya. Kami menerbangkan layang-layang dan berboncengan sepeda mengelilingi jalanan kampung. Kebersamaan itu sangat tak asing. Membawaku pada dimensi waktu yang membuat ku rindu.
Pagi sekali, matahari baru
setengahnya tampak. Aku melihatnya. Menyusuri jalan untuk pertama kali.
Mengagumi petak-petak sawah berair yang belum musimnya untuk dipanen. Memandang
atap rumbia yang menaungi rumah papan semi permanen yang berjajar di sepanjang
jalan.
Dia terlihat tak asing bagiku.
Mengenakan kemeja biru polos yang sudah agak kusam. Wajahnya persegi, rahangnya
mengingatkanku pada manusia yang terlambat berevolusi. Dan matanya, matanya
terlalu ceria untuk dimiliki seorang pria.
Lalu hari-hari setelah itu,
menjadi kebiasaan bagiku untuk duduk di balik jendela kamar. Memandang dia yang
juga tak pernah alpa, mengayuh sepeda pada jalan yang sama. Waktu yang sama.
Atap rumbia, rumah papan semi permanen, padi yang belum musimnya untuk dipanen.
*****
“Mamak kenal sama laki-laki yang
suka lewat di depan rumah kita?” Aku bertanya di balik punggung ibuku yang
sedang menggoreng belacan.
“Banyak laki-laki yang lewat di
depan rumah kita. Mana pula mamak perhatikan.” Aroma tajam belacan menguar
melalui asap dan uap minyak.
“Selalu pagi jam setengah tujuh.”
“Selalu?” ibuku bertanya tak acuh.
Aku mengangguk antusias. “Naik
sepeda, Mak. Mukanya aneh, sepanjang jalan senyum-senyum.”
“Kenapa rupanya?” Ibuku mematikan
api kompor. Berbalik menatapku sebentar sebelum mengambil sepiring cabai dan
bawang yang telah digoreng, lalu menuangkan isinya ke atas cobekan batu.
“Ngapain ngurusin orang yang nggak dikenal, Ka.”
“Tapi aku kayak kenal mukanya,
Mak.” Suara benturan batu bergema di dapur kami yang lebih mirip ujung lorong
karena sempitnya. “Tiap hari dia lewat. Masa mamak gak tau.”
“Sanalah tanya bapakmu, mungkin dia tau. Lepas
sholat subuh tak pernah dia tidur. Kalau nggak duduk di depan teras, nonton
berita dia biasanya.”
“Mak.” Perhatianku tersita oleh
gumpalan sambal kasar yang memenuhi cobekan “Kalau bisa agak dihaluskan sambal
belacan itu ya. Agak seram aku makan kalau biji cabenya masih Nampak-nampak
gitu.” Ibuku mengangguk tanpa merasa perlu menjawab.
Aku berlalu menjauhinya. Bukan
menuju bapak. Bukan. Masih ada tiga jam lebih seperempat menit sebelum sosoknya
muncul di ambang pintu. Lebih baik kembali ke kamar dan duduk di balik jendela.
Meski kutahu, dia hanya akan muncul pagi-pagi buta dan sesaat sebelum bapak
pulang. Tapi aku tetap suka membunuh waktuku di sana. Di tempat dia selalu lewat, memandang
padi dan rumah-rumah tanpa sekali pun pernah menyadari keberadaanku.
Sejak dia ada, aku tak lagi merasa
perlu untuk menyambangi teman-teman sekampung, pun menanggapi panggilan mereka
untuk sekedar pesiar sore seperti yang dulu sering kulakukan. Aku tak ingin
melewatkan kehadirannya meski hanya sehari.
Karna pada sore hari, sesaat
sebelum bapak pulang –dia membuatku melupakan kebiasaan bodohku menanti bapak
di depan pintu rumah pada pukul lima sore– pria itu akan muncul, mengayuh
sepedanya seolah baru kembali dari suatu tempat.
Tak jarang dia menghentikan
sepeda, lalu ikut menerbangkan layang-layang bersama anak kampung. Kadang
hingga jauh petang, pernah pula hingga matahari benar-benar hilang.
Pada akhirnya, di waktu yang
biasanya sama, dia berlalu. Mengayuh sepedanya dengan keringat yang membanjir
di muka. Dan aku, tak pernah merasa jemu. Duduk di tempat yang sama, memandang
punggungnya hingga hilang ditelan malam.
*****
Kemarin malam, aku memimpikannya. Lelaki yang
kerap kutunggu datang dan perginya. Kami menerbangkan layang-layang dan
berboncengan sepeda mengelilingi jalanan kampung. Kebersamaan itu sangat tak asing, membawaku pada dimensi
waktu yang membuat kurindu.
Tapi itu nyatanya tak terlalu menyenangkan
untuk orang tuaku. Sulit bagi mereka untuk percaya, hanya karena mereka tak
memandang dia seperti aku melihatnya. Larangan untuk berlama-lama duduk di
balik jendela kamar kutanggapi dengan diam. Mereka boleh saja menjauhkanku dari
dia, tapi apa yang terlanjur terlihat dan terekam di kepala hanya akan hilang
jika aku ingin menghapusnya.
Hingga suatu hari kabar itu sampai,
desas-desus yang mengembara dari satu ke lain telinga. Dan sejak saat itu, aku
tak pernah lagi meninggalkan rumah. Bahkan ke sekolah pun tidak. Bulan-bulan
pertama, masih ada yang berkunjung. Meski mereka hanya melihat kudiam dan
murung, karna jikapun ada yang ingin kutemui, bukan mereka orangnya.
Dan saat sendiriku yang lain,
rindu akannya tak lagi mampu dipuaskan hanya lewat mimpi dan tatapan. Berbekal
baju yang disumpal dalam kantongan kresek, aku melompati pagar yang selama ini
hanya menjadi saksi atas penantianku yang sunyi.
Tapi waktupun seolah bersekongkol
untuk menyudutkanku. Karena di pagi hari saat kuterbangun dari pelarian yang
singkat itu, yang kutemukan hanya kamar dengan jendela yang terpaku. Dan sejak
saat itu, Kamar itulah rumahku. Tak ada lagi ibu yang menemani mengobrol sambil
menonton televisi, pun tak ada bapak yang menemani makan pagi dan malam.
Hanya celah diantara papan yang
membuatku tetap hidup. Hidup untuk memandangi dia yang masih selalu mengayuh
sepeda pada pagi-pagi buta dan di pertengahan senja. Sesekali, di saat malam
menyembunyikan bunyi jangkrik dan dengkur kambing, kami bertemu. Berpesiar dengan
sepeda, sesekali mengejutkan bocah-bocah yang bermain kelereng di lintasan
jalan.
Sampai suatu pagi, ibu menemukanku histeris
memandang foto-foto yang bergelantungan di dinding kamar. Satu diantaranya
telah tergeletak di lantai, bingkai kacanya telah retak dan bernoda darah.
Ibu menubrukku, mendudukkan aku di
atas kasur, tangannya sibuk membersihkan mata kakiku dari serpihan kaca dan
darah yang menggumpal. Lalu Bapak muncul di ambang pintu, matanya nanar.
“Kenapa?” itu yang keluar dari
mulut nya.
“Siapa dia?” Tanganku menunjuk
foto-foto yang tergantung dalam gerakan liar.
Ibu menangis, meraung. Tangannya
yang sudah berlumur darah memelukku. “Kembali, nak. Kembali.”
“Siapa dia?” Tanyaku berubah
menjadi geraman kemarahan.
Tak ada jawaban.
“Siapa
dia?” kusentak pelukan ibu, suaraku sudah berubah histeris.
“Dia istri abangmu.” Jawaban bapak
serupa bisikan.
“Bukan
!” aku histeris, kudatangi bapak dengan langkah yang terseok. Ku lihat
beberapa tetangga mengintip dari pintu depan “Dia lelakiku, bukan abangku. Dan
perempuan itu bukan istrinya.”
Ibu mendekapku, menjauhkan ayah
yang mulai terbakar. Aku meronta. Aku meronta. Ibu menjerit. Aku menjerit. Aku
menggelepar.
*****
Aku melihatnya. Lelaki yang kerap kutunggu datang dan perginya. Kami
menerbangkan layang-layang dan berboncengan sepeda mengelilingi jalanan
kampung. Kebersamaan itu sangat tak
asing. Membawaku pada dimensi waktu yang membuat ku rindu.
- Ayu Lestari -
Medan 24 februari 2012
0 comments:
Post a comment